Panitia Kerja DPR yang melakukan investigasi mengenai penyimpangan BLBI telah mengakhiri masa tugasnya. Tetapi mereka tak berdaya mengorek keterangan dari mantan Presiden Soeharto. Akankah disposisi orang kuat orde baru itu dalam kasus ini tetap jadi misteri?
Penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mungkin tidak akan begitu menarik perhatian masyarakat luas, kalau saja jumlahnya tidak mencapai Rp 82,5 triliun. Selain jenuh dengan kasus korupsi, penyimpangan dana hanyalah satu dari beberapa modus yang melekat dalam budaya pemerintahan Orde Baru dan terjadi di mana saja, hampir tanpa kecuali. Modus itu bisa ditemukan dalam pengurusan TKI di Departemen Tenaga Kerja atau kebocoran Rp 6 triliun atas dana Jaring Pengaman Sosial. Juga kebocoran sebesar Rp 15 triliun, misalnya, di Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bagi mereka yang selalu bergaul dengan praktek korupsi, semua permainan itu, barangkali, bukan apa-apa. Lebih-lebih jika dikurs ke dolar, bisa-bisa dinilai tidak begitu signifikan. Tapi, penyimpangan BLBI Rp 82,5 triliun, kendati dilakukan di sarang penyamun– maksudnya Bank Indonesia — nilainya terlalu besar dan benar-benar menonjok rasa keadilan.
“TNI yang begitu perkasa, toh harus melalui proses purgatory, mengapa BI tidak?”
Pada mulanya Menko Ekuin Kwik Kian Gie menolak untuk membayar Rp 82,5 triliun dari tagihan Rp 164,5 triliun — belakangan tinggal Rp 144,5 triliun — yang disodorkan BI kepada pemerintah. Selain jumlahnya mencapai 70% dari total nilai RAPBN 2000, dampaknya juga sangat memberatkan anggaran. Lagi pula, di mana letak justifikasi pemerintah ketika menggunakan uang rakyat untuk membayar utang yang tak jelas ujung-pangkalnya dan dalam jumlah yang fantastis besarnya?.
Penolakan Kwik yang dinyatakan secara terbuka dan frontal, ditanggapi oleh Gubernur BI, Syahril Sabirin, dalam sikap defensif. Belum cukup dengan penolakan, kubu pemerintah sempat melontarkan sinyalemen tentang likuidasi oleh BI. Dalam interaksi yang terjadi, kedua pihak lalu tampak sangat irasional. Gubernur BI bagaikan berlindung di balik lalang sehelai, sedangkan pemerintah tak ubahnya orang mengigau, menceracau.
Sampai saat ini, bagaimana kasus penyimpangan dana BLBI itu akan diselesaikan, masih menjadi tanda tanya. Hal lain yang tak kurang pentingnya adalah apakah BI mampu memperbaiki dirinya sendiri. Soalnya, kemampuan bank sentral untuk melakukan pembersihan internal sangat diragukan, padahal lembaga ini wajib membersihkan diri. Atau, dalam jargon politik masa kini, dituntut untuk melakukan reposisi dan redefinisi demi menyukseskan reformasi. TNI yang begitu perkasa, toh, harus melalui proses purgatory. Mengapa BI tidak? Lagi pula, opsi untuk likuidasi BI, tampaknya, tidak sejalan dengan UU tentang independensi bank sentral yang mulai diberlakukan pada Mei 1999.
“Undang-undang yang dalam garis besarnya membebaskan BI dari campur tangan pemerintah, juga menetapkan bahwa BI tidak lagi kebal audit seperti dulu-dulu.”
Undang-undang yang dalam garis besarnya membebaskan BI dari campur tangan pemerintah, juga menetapkan bahwa BI tidak lagi kebal audit seperti dulu-dulu. Dengan ketentuan ini, wewenang BI sebagai otoritas moneter dijamin, tapi akuntabilitas publiknya juga merupakan suatu keharusan. Audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BI sejak akhir tahun lalu, selain untuk transparansi, juga untuk mengurai benang kusut BLBI. Tak jelas, sudah sampai ke lapis mana misteri BLBI bisa diungkap, tapi disclaimer alias penilaian no opinion dari BPK telah dengan gamblang menunjukkan masih banyak sisi gelap yang perlu klarifikasi lebih jauh.
Bahwa BLBI itu misteri yang fantastis, terbukti dari hasil audit dengan predikat disclaimer itu. Debat publik berlangsung hampir tak putus-putus mengenai banyak hal. Alasan pengucuran BLBI, siapa saja yang menggariskan kebijakan BLBI, bagaimana mekanisme pengucurannya, seberapa vital peran bekas Presiden Soeharto, bank apa saja yang menerima BLBI, seberapa besar dana talangan itu mengalir ke kas mereka, dan banyak lagi. Moral hazard – yang dikhawatirkan oleh beberapa pengamat sejak BLBI dikucurkan — konon memang terjadi. BLBI — yang direncanakan sebagai dana talangan bagi bank-bank agar bisa menutup dana pihak ketiga – ternyata, juga dikucurkan untuk menutup transaksi valuta asing yang dilakukan oleh bank bersangkutan. BLBI pun masih terus dikucurkan, padahal prosedur akad kredit tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Nilai agunan, misalnya, jauh dari memadai. Yang tak kurang mengejutkan adalah BLBI dikucurkan tanpa pandang bulu. Artinya,bank-bank yang tidak layak lagi beroperasi — karena CAR-nya sudah di bawah standar BI –juga menikmati BLBI. Alasannya, Presiden Soeharto tidak mengizinkan terjadinya rush dan stop kliring.
“BLBI yang direncanakan sebagai dana talangan bagi bank-bank agar bisa menutup dana pihak ketiga, ternyata juga dikucurkan untuk menutup transaksi valuta asing yang dilakukan bank bersangkutan.”
Alasan klasik seperti itu tentu perlu diuji kebenarannya. Panitia Kerja DPR (Panja DPR) yang melakukan investigasi khusus mengenai penyimpangan BLBI telah mengakhiri penyelidikannya pada 27 Februari 2000. Untuk keberhasilan investigasi, Panja, antara lain, memanggil penasihat ekonomi Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, bekas Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, dan Bambang Subianto, tapi gagal menemui Soeharto karena bekas presiden ini dinyatakan sakit. Berbeda dengan Pansus DPR untuk kasus Bank Bali, Panja terlihat kurang tegas, karena — setelah berdebat alot — dalam penjelasan resmi 29 Februari kemarin, tidak menyebut satu nama pun, kendati menyatakan ada 20 pejabat BI yang menunjukkan indikasi kuat terlibat penyimpangan BLBI. Tak pula ada kejelasan mengenai disposisi Soeharto yang kontroversial itu.
Dengan demikian, misteri BLBI jadi mengerikan sekali. Soalnya, ketika para wakil rakyat tidak siap tempur untuk membongkar penyimpangan BLBI, lalu begitu saja mengalihkan urusan bongkar-membongkar tersebut kepada Kejaksaan Agung, dampak dan risikonya sudah langsung bisa diperkirakan. Political will Marzuki Darusman agaknya tak perlu diragukan, tapi lembaga penegak hukum yang dipimpinnya bukanlah lembaga yang siap untuk menegakkan hukum. Dan, mungkin, belum akan siap untuk beberapa tahun ke depan.
“Yang tak kurang mengejutkan adalah BLBI dikucurkan tanpa pandang bulu, artinya bank-bank yang tidak layak lagi beroperasi karena CAR-nya sudah di bawah standar BI, juga menikmati BLBI.”
Sampai tingkat ini, terobosan hukum amat sangat diperlukan. Kalau aparat penegak hukum dan wakil rakyat tidak siap berpihak (pada keadilan), maka attitude masyarakat sebaiknya terarah ke sana. Jika selama ini asas praduga tak bersalah dijadikan perisai oleh orang-orang bersalah, maka penerapan asas pembuktian terbalik khusus untuk penyimpangan BLBI bisa dicoba. Dalam penerapannya, 20 pejabat BI yang — menurut penilaian Panja DPR — berindikasi kuat terlibat, sebaiknya langsung disidik saja. Kemudian, kalau terbukti tidak bersalah, nama baiknya serta-merta harus direhabilitasi.
Terobosan dari pimpinan nasional juga diperlukan, agar kasus BLBI tidak menjadi penghalang antara rakyat dan upaya pemulihan ekonomi. Seperti diketahui, kisruh pengembalian dana BLBI ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sejauh ini belum juga memperlihatkan kemajuan yang berarti. Padahal, pemerintah berpendirian, sektor perbankan/keuangan harus dibenahi dahulu, barulah perekonomian bisa diposisikan ke jalur pemulihan.
“Pemerintah juga dituntut ketegasannya untuk mempailitkan saja debitur yang tidak kooperatif, di samping mendukung percepatan restrukturisasi utang swasta.”
Andai kata pendekatan seperti itu terus dipertahankan, bukan mustahil kita tidak akan pernah bisa keluar dari krisis. Mungkin sudah waktunya untuk mencoba menggerakkan sektor riil dan, bersamaan dengan itu, juga membenahi sektor keuangan. Kuncinya, barangkali, terletak pada kebijakan dan upaya yang bersungguh-sungguh untuk menarik investor asing, katakanlah, melalui jaminan keamanan, khususnya di sentra-sentra produksi, yang akhir-akhir ini terus-menerus menjadi sasaran penjarahan. Ketegasan pemerintah juga dituntut untuk mempailitkan saja debitur yang tidak kooperatif, di samping mendukung percepatan restrukturisasi utang swasta. Pada tingkat makro, Presiden Gus Dur telah menyebut-nyebut tentang perubahan orientasi dari strategi yang pada masa Orde Baru sangat berpihak pada usaha-usaha besar atau konglomerasi – yang, antara lain, menjadi biang kerok penyimpangan BLBI — ke usaha kecil dan menengah. Lagi pula, pengalaman selama krisis mengajarkan kepada kita untuk tidak takut kepada yang besar, tapi takut kepada yang sekadar tampak besar, namun sebenarnya keropos. **
Reference from : www.tempointeraktif.com/harian/opini/ana-02032000 htm