Iklan Melayang

Senin, 15 Juni 2009

etika pRofesi - Kasus BLBI

BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)

Panitia Kerja DPR yang melakukan investigasi mengenai penyimpangan BLBI telah mengakhiri masa tugasnya. Tetapi mereka tak berdaya mengorek keterangan dari mantan Presiden Soeharto. Akankah disposisi orang kuat orde baru itu dalam kasus ini tetap jadi misteri?

Penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mungkin tidak akan begitu menarik perhatian masyarakat luas, kalau saja jumlahnya tidak mencapai Rp 82,5 triliun. Selain jenuh dengan kasus korupsi, penyimpangan dana hanyalah satu dari beberapa modus yang melekat dalam budaya pemerintahan Orde Baru dan terjadi di mana saja, hampir tanpa kecuali. Modus itu bisa ditemukan dalam pengurusan TKI di Departemen Tenaga Kerja atau kebocoran Rp 6 triliun atas dana Jaring Pengaman Sosial. Juga kebocoran sebesar Rp 15 triliun, misalnya, di Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bagi mereka yang selalu bergaul dengan praktek korupsi, semua permainan itu, barangkali, bukan apa-apa. Lebih-lebih jika dikurs ke dolar, bisa-bisa dinilai tidak begitu signifikan. Tapi, penyimpangan BLBI Rp 82,5 triliun, kendati dilakukan di sarang penyamun– maksudnya Bank Indonesia — nilainya terlalu besar dan benar-benar menonjok rasa keadilan.

“TNI yang begitu perkasa, toh harus melalui proses purgatory, mengapa BI tidak?”
Pada mulanya Menko Ekuin Kwik Kian Gie menolak untuk membayar Rp 82,5 triliun dari tagihan Rp 164,5 triliun — belakangan tinggal Rp 144,5 triliun — yang disodorkan BI kepada pemerintah. Selain jumlahnya mencapai 70% dari total nilai RAPBN 2000, dampaknya juga sangat memberatkan anggaran. Lagi pula, di mana letak justifikasi pemerintah ketika menggunakan uang rakyat untuk membayar utang yang tak jelas ujung-pangkalnya dan dalam jumlah yang fantastis besarnya?.
Penolakan Kwik yang dinyatakan secara terbuka dan frontal, ditanggapi oleh Gubernur BI, Syahril Sabirin, dalam sikap defensif. Belum cukup dengan penolakan, kubu pemerintah sempat melontarkan sinyalemen tentang likuidasi oleh BI. Dalam interaksi yang terjadi, kedua pihak lalu tampak sangat irasional. Gubernur BI bagaikan berlindung di balik lalang sehelai, sedangkan pemerintah tak ubahnya orang mengigau, menceracau.

Sampai saat ini, bagaimana kasus penyimpangan dana BLBI itu akan diselesaikan, masih menjadi tanda tanya. Hal lain yang tak kurang pentingnya adalah apakah BI mampu memperbaiki dirinya sendiri. Soalnya, kemampuan bank sentral untuk melakukan pembersihan internal sangat diragukan, padahal lembaga ini wajib membersihkan diri. Atau, dalam jargon politik masa kini, dituntut untuk melakukan reposisi dan redefinisi demi menyukseskan reformasi. TNI yang begitu perkasa, toh, harus melalui proses purgatory. Mengapa BI tidak? Lagi pula, opsi untuk likuidasi BI, tampaknya, tidak sejalan dengan UU tentang independensi bank sentral yang mulai diberlakukan pada Mei 1999.

“Undang-undang yang dalam garis besarnya membebaskan BI dari campur tangan pemerintah, juga menetapkan bahwa BI tidak lagi kebal audit seperti dulu-dulu.”
Undang-undang yang dalam garis besarnya membebaskan BI dari campur tangan pemerintah, juga menetapkan bahwa BI tidak lagi kebal audit seperti dulu-dulu. Dengan ketentuan ini, wewenang BI sebagai otoritas moneter dijamin, tapi akuntabilitas publiknya juga merupakan suatu keharusan. Audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BI sejak akhir tahun lalu, selain untuk transparansi, juga untuk mengurai benang kusut BLBI. Tak jelas, sudah sampai ke lapis mana misteri BLBI bisa diungkap, tapi disclaimer alias penilaian no opinion dari BPK telah dengan gamblang menunjukkan masih banyak sisi gelap yang perlu klarifikasi lebih jauh.

Bahwa BLBI itu misteri yang fantastis, terbukti dari hasil audit dengan predikat disclaimer itu. Debat publik berlangsung hampir tak putus-putus mengenai banyak hal. Alasan pengucuran BLBI, siapa saja yang menggariskan kebijakan BLBI, bagaimana mekanisme pengucurannya, seberapa vital peran bekas Presiden Soeharto, bank apa saja yang menerima BLBI, seberapa besar dana talangan itu mengalir ke kas mereka, dan banyak lagi. Moral hazard – yang dikhawatirkan oleh beberapa pengamat sejak BLBI dikucurkan — konon memang terjadi. BLBI — yang direncanakan sebagai dana talangan bagi bank-bank agar bisa menutup dana pihak ketiga – ternyata, juga dikucurkan untuk menutup transaksi valuta asing yang dilakukan oleh bank bersangkutan. BLBI pun masih terus dikucurkan, padahal prosedur akad kredit tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Nilai agunan, misalnya, jauh dari memadai. Yang tak kurang mengejutkan adalah BLBI dikucurkan tanpa pandang bulu. Artinya,bank-bank yang tidak layak lagi beroperasi — karena CAR-nya sudah di bawah standar BI –juga menikmati BLBI. Alasannya, Presiden Soeharto tidak mengizinkan terjadinya rush dan stop kliring.

“BLBI yang direncanakan sebagai dana talangan bagi bank-bank agar bisa menutup dana pihak ketiga, ternyata juga dikucurkan untuk menutup transaksi valuta asing yang dilakukan bank bersangkutan.”

Alasan klasik seperti itu tentu perlu diuji kebenarannya. Panitia Kerja DPR (Panja DPR) yang melakukan investigasi khusus mengenai penyimpangan BLBI telah mengakhiri penyelidikannya pada 27 Februari 2000. Untuk keberhasilan investigasi, Panja, antara lain, memanggil penasihat ekonomi Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, bekas Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, dan Bambang Subianto, tapi gagal menemui Soeharto karena bekas presiden ini dinyatakan sakit. Berbeda dengan Pansus DPR untuk kasus Bank Bali, Panja terlihat kurang tegas, karena — setelah berdebat alot — dalam penjelasan resmi 29 Februari kemarin, tidak menyebut satu nama pun, kendati menyatakan ada 20 pejabat BI yang menunjukkan indikasi kuat terlibat penyimpangan BLBI. Tak pula ada kejelasan mengenai disposisi Soeharto yang kontroversial itu.

Dengan demikian, misteri BLBI jadi mengerikan sekali. Soalnya, ketika para wakil rakyat tidak siap tempur untuk membongkar penyimpangan BLBI, lalu begitu saja mengalihkan urusan bongkar-membongkar tersebut kepada Kejaksaan Agung, dampak dan risikonya sudah langsung bisa diperkirakan. Political will Marzuki Darusman agaknya tak perlu diragukan, tapi lembaga penegak hukum yang dipimpinnya bukanlah lembaga yang siap untuk menegakkan hukum. Dan, mungkin, belum akan siap untuk beberapa tahun ke depan.

“Yang tak kurang mengejutkan adalah BLBI dikucurkan tanpa pandang bulu, artinya bank-bank yang tidak layak lagi beroperasi karena CAR-nya sudah di bawah standar BI, juga menikmati BLBI.”
Sampai tingkat ini, terobosan hukum amat sangat diperlukan. Kalau aparat penegak hukum dan wakil rakyat tidak siap berpihak (pada keadilan), maka attitude masyarakat sebaiknya terarah ke sana. Jika selama ini asas praduga tak bersalah dijadikan perisai oleh orang-orang bersalah, maka penerapan asas pembuktian terbalik khusus untuk penyimpangan BLBI bisa dicoba. Dalam penerapannya, 20 pejabat BI yang — menurut penilaian Panja DPR — berindikasi kuat terlibat, sebaiknya langsung disidik saja. Kemudian, kalau terbukti tidak bersalah, nama baiknya serta-merta harus direhabilitasi.

Terobosan dari pimpinan nasional juga diperlukan, agar kasus BLBI tidak menjadi penghalang antara rakyat dan upaya pemulihan ekonomi. Seperti diketahui, kisruh pengembalian dana BLBI ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sejauh ini belum juga memperlihatkan kemajuan yang berarti. Padahal, pemerintah berpendirian, sektor perbankan/keuangan harus dibenahi dahulu, barulah perekonomian bisa diposisikan ke jalur pemulihan.

“Pemerintah juga dituntut ketegasannya untuk mempailitkan saja debitur yang tidak kooperatif, di samping mendukung percepatan restrukturisasi utang swasta.”
Andai kata pendekatan seperti itu terus dipertahankan, bukan mustahil kita tidak akan pernah bisa keluar dari krisis. Mungkin sudah waktunya untuk mencoba menggerakkan sektor riil dan, bersamaan dengan itu, juga membenahi sektor keuangan. Kuncinya, barangkali, terletak pada kebijakan dan upaya yang bersungguh-sungguh untuk menarik investor asing, katakanlah, melalui jaminan keamanan, khususnya di sentra-sentra produksi, yang akhir-akhir ini terus-menerus menjadi sasaran penjarahan. Ketegasan pemerintah juga dituntut untuk mempailitkan saja debitur yang tidak kooperatif, di samping mendukung percepatan restrukturisasi utang swasta. Pada tingkat makro, Presiden Gus Dur telah menyebut-nyebut tentang perubahan orientasi dari strategi yang pada masa Orde Baru sangat berpihak pada usaha-usaha besar atau konglomerasi – yang, antara lain, menjadi biang kerok penyimpangan BLBI — ke usaha kecil dan menengah. Lagi pula, pengalaman selama krisis mengajarkan kepada kita untuk tidak takut kepada yang besar, tapi takut kepada yang sekadar tampak besar, namun sebenarnya keropos. **

Reference from : www.tempointeraktif.com/harian/opini/ana-02032000 htm

ETIKA Profesi - From Benchmark to Bankrupt

Worlcom: From Benchmark to Bankrupt

Between July 2002 when WorldCom declared bankruptcy and April 2004 when it emerged from bankruptcy as MCI, company officials worked feverishly to restate the financials and reorganize the company. The new CEO Michael Capellas (formerly CEO of Compaq Computer) and the newly appointed CFO Robert Blakely faced the daunting task of settling the company’s outstanding debt of around $35 billion and performing a rigorous financial audit of the company. This was a monumental task, at one point utilizing an army of over 500 WorldCom employees, over 200 employees of the company’s outside auditor, KPMG, and a supplemental workforce of almost 600 people from Deloitte & Touch. As Joseph McCafferty notes, “(a)t the peak of the audit, in late 2003, WorldCom had about 1,500 people working on the restatement, under the combined management of Blakely and five controllers…(the t) otal cost to complete it: a mind-blowing $365 million”(McCafferty, 2004).

In addition to revealing sloppy and fraudulent bookkeeping, the post-bankruptcy audit found two important new pieces of information that only served to increase the amount of fraud at WorldCom. First, “WorldCom had overvalued several acquisitions by a total of $5.8 billion”(McCafferty, 2004). In addition, Sullivan and Ebbers, “had claimed a pretax profit for 2000 of $7.6 billion” (McCafferty, 2004). In reality, WorldCom lost “$48.9 billion (including a $47 billion write-down of impaired assets).” Consequently, instead of a $10 billion profit for the years 2000 and 2001, WorldCom had a combined loss for the years 2000 through 2002 (the year it declared bankruptcy) of $73.7 billion. If the $5.8 billion of overvalued assets is added to this figure, the total fraud at WorldCom amounted to a staggering $79.5 billion.

Although the newly audited financial statements exposed the impact of the WorldCom fraud on the company’s shareholders, creditors, and other stakeholders, other information made public since 2002 revealed the effects of the fraud on the company’s competitors and the telecommunications industry as a whole. These show that the fall of WorldCom altered the fortunes of a number of telecommunications industry participants, none more so than AT&T Corporation.
The CNBC news show, “The Big Lie: Inside the Rise and Fraud of WorldCom,” exposed the extent of the WorldCom fraud on several key participants, including the then-chairmen of AT&T and Sprint (Faber, 2003). The so-called “big lie” was promoted through a spreadsheet developed by Tom Stluka, a capacity planner at WorldCom, that modeled in Excel format the amount of traffic WorldCom could expect in a best-case scenario of Internet growth. In essence, “Stluka’s model suggested that in the best of all possible worlds Internet traffic would double every 100 days” (Faber, 2003). In working with the model, Stluka simply assigned variables with various parameters to “whatever we think is appropriate”(Faber, 2003).

This was innocent enough, had it remained an exercise. A problem emerged when the exercise was extended and integrated into corporate strategy, when it was adopted and implemented by WorldCom and then by the telecommunications industry. Within a year, “other companies were touting it” and the model was given credibility it should not have been accorded (Faber, 2003). As Stluka explains, “there were a lot of people who were saying 10X growth, doubling every three to four months, doubling every 100 days, 1,000 percent, that kind of thing” (Faber, 2003). But it wasn’t true. “I don’t recall traffic … in fact growing at that rate … still, WorldCom’s lie had become an immutable law.” Optimistic scenarios with little foundation in reality began to spread and pervade the industry. They became emblematic of the “smoke and mirrors” behavior not only at WorldCom prior to its collapse, but the industry as a whole.

Fictitious numbers drove not just WorldCom, but also other companies as they reacted to WorldCom’s optimistic projections. According to Michael Armstrong, then chairman and CEO of AT&T, “For some period of time, I can recall that we were back-filling that expectation with laying cable, something like 2,200 miles of cable an hour” (Faber, 2003). He adds: “Think of all the companies that went out of business that assumed that that was real.”

The fallout from the WorldCom debacle was significant. Verizon obtained the freshly minted MCI for $7.6 billion, but not the $35 billion of debt MCI had when it declared bankruptcy (Alexander, 2005). Although WorldCom was one of the largest telecommunications companies with nearly $160 billion in assets, shareholder suits obtained $6.1 billion from a variety of sources including investment banks, former board members and auditors of WorldCom (Belson, 2005). If this sum were evenly distributed among the firms 2.968 billion common shares, the payoff would (have been) well under $1 a share for a stock that peaked at $49.91 on Jan. 2000″ (Alexander, 2005, 3).

There are more losers in the aftermath of the WorldCom wreck. The reemerged MCI was left with about 55,000 employees, down from 88,000 at its peak. Since March 2001, however, “about 300,000 telecommunications workers have lost their jobs. The sector’s total employment-1.032 million-is at an eight year low” (Alexander, 2005, 3). The carnage does not stop there. Telecommunications equipment manufacturers such as Lucent Technologies, Nortell Networks, and Corning, while benefiting initially from WorldCom’s groundless predictions, suffered in the end with layoffs and depressed share prices. Perhaps most significant, in December 2005, the venerable AT&T Corporation ceased to exist as an independent company.

Retrieved May 15, 2007 from Dennis Moberg (Santa Clara University) and Edward Romar (University of Massachusetts-Boston) www.scu.edu/ethics/dialogue/candc/cases/worldcom.html

eTiKa pRoFEsi - PT. ANEKA TAMBANG




Penyajian Kembali Laporan Keuangan
PT. Aneka Tambang Tbk.Tahun 2002


Permasalahan
PT Antam Tbk. Dikarenakan belum dicadangkannya kewajiban perusahaan dalam pelayanan kesehatan pensiunan dan ini memang di atur secara spesipik dalam PSAK, khususnya pada PSAK 57 yang mengatur soal bantuan dan ini dipersepsikan oleh para profesional manajemen BUMN hanya bersifat sukarela jadi belum layak untuk dicadangkan.
Tetapi bila para profesional mengacu pada IAS (Intenational Accounting Standard) dimana pada intinya menjelaskan menfaat pelayanan kesehatan pensiun diakui sebagai beban atau pendapatan selama sisa masa kerja karyawan dengan menggunakan asumsi aktuaria yang independen.
Permasalahan ini yang sempat membuat ketegangan diantara komisaris dan manajemen. Dan masalah ini pula yang membuat auditor independennya Kantor Akuntan Publik (KAP) Hadi Sutanto & Rekan yang berafiliasi dengan PwC untuk reaudit LK Konsolidasi tahun 2002 dan menolak untuk menandatangani LK Konsolidasi 2002 dan 2003 yang disajikan kembali, akrena masih mempersoalkan besarnya pencadangan untuk bantuan Pelayanan Kesehatan Pensiunan yang akhirnya menunjuk PT Dayamandiri Dharmakonsiindo sebagai aktuaria yang independen untuk menghitungnya.
Dan setelah selesai akhirnya pihak mananajemen dan komisaris PT Antam membukukan atas bantuan biaya bantuan pelayanan kesehatan pensiunan ini meningkatkan nilai kewajiban perusahaan sebesar Rp. 395 miliar (USD 46.5 juta), dengan perincian sebesar Rp. 376 miliar (USD 44 juta) dimasukkan dalam kewajiban dana kesehatan-tidak lancar, sementara sisanya sebesar Rp. 19 miliar (USD 2.2 juta) masuk ke dalam kewajiban dana kesehatan-lancar.
Sesuai dengan perhitungan aktuaris independen dalam tahu 2003 perusahaan membebankan sebesar Rp. 47 miliar yang dari jumlah tersebut sebesar Rp. 17 miliar sudah dibukukan dan sisanya sebesar Rp. 30 miliar dimasukkan ke dalam pos beban umum dan administrasi dan seiring dengan itu, manajemenmenetapkan kebijakan pengendalian bantuan pelayanan kesehatan dan membukukan beban dan kewajiban itu secra retroaktif dari tahun 2001.
Dimana pengendalian biaya bantuan kesehatan dilakukan dengan menetapkan platform biaya bantuan kesehatan untuk rawat jalan sebesar Rp. 5 juta (USD 584) per keluarga pensiunan per tahun. Selain itu pengendalian biaya bantuan kesehatan pensiunan juga bermanfaat untuk menyiptakan rasa aman kepada pensiunan dan keluarganya. Barulah setelah itu KAP Hadi Susanto mau menandatangani.

Sumber: Majalah Auditor Nomor 14/Apr-Mei/2004

Etika pRofesi – di PAPUA

Penyimpangan di Papua Rugikan Negara Rp 51,8 Miliar

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan indikasi kerugian negara lebih dari Rp 51,8 miliar dalam 10 kasus di Provinsi Papua selama 2005 dan 2006. Dari jumlah itu, Rp 781 juta diantaranya sudah dikembalikan kepada negara oleh pelakunya.

Kepala BPKP Didi Widayadi mengungkapkan, temuan ini dilakukan setelah lembaganya melakukan audit investigasi terhadap penugasan di provinsi paling timur Indonesia ini. “Ini atas permintaan penyidik,” kata Didi saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Rabu (14/2) malam.

Menurut dia, hasil audit ini akan menjadi bukti material dalam penyidikan penyimpangan hukum yang terjadi. Dengan begitu, angka yang tercantum dalam audit tersebut tidak bisa diubah lagi.
Mantan Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Polri ini menambahkan, penyimpangan itu bisa dikategorikan melanggar hukum secara disengaja atau tidak disengaja. Hanya saja, penentuan status hukum tersebut akan diserahkan kepada penyidik.

Dia menjelaskan, selama ini banyak kesalahan dilakukan secara tidak sengaja. Hal ini, kata dia, terjadi akibat keterbatasan sumber daya manusia di Papua.
Kepala Perwakilan BPKP Papua, Bambang Setiawan menambahkan, modus penyimpangan dalam 10 kasus yang diperiksa tersebut sangat bervariasi. Sayang, ia enggan menyebutkan kasus yang diperiksa dan modusnya dengan alasan menjadi rahasia penyidikan.
Bambang juga mengaku tidak ingat nilai proyek dari 10 kasus tersebut. “Saya tidak bawa datanya,” ujarnya.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu mengakui bahwa daerahnya masih memiliki keterbatasan sumber daya manusia. “Ini berakibat ada ruang korupsi, kolusi dan nepotisme,” katanya.
Barnabas berjanji akan menindaklanjuti seluruh temuan BPKP tersebut. Dia juga menyatakan akan memberikan sanksi yang tegas kepada bawahannya yang melanggar.
Dia mencontohkan, jika pejabat di Papua melakukan kesalahan administrasi maka akan dipecat, dipindah tugaskan atau diturunkan pangkatnya. “Audit BPKP menjadi peringatan dini buat kami,” ujarnya.

Barnabas berharap, tahun ini hasil audit BPKP terhadap anggaran di daerahnya bisa berstatus qualified.
“Sekarang kami masih disclaimer (tidak menyampaikan pendapat)

Reference : www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/02/14/brk,20070214-93275.id.html

eTiKa ProFeSi - PT.kimia Farma

KASUS PT. KIMIA FARMA

Latar Belakang
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).
Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan.
Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.

Permasalahan
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.
Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi.

Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Sebagai akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.

Daftar Pustaka
Bapepam, Kasus PT Kimia Farma Tbk, Siaran Pers Bapepam, 27 Desember 2002

Bapepam, Peraturan No VIII.A.2 tentang Independensi Akuntan Yang Memberikan jasa Audit di Pasar Modal

Imam Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tungga, Memahami Sarbanes-Oxley Act (SOX) 2002, Harvarindo, 2005

KMK NO 423/kmk.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik

Tempo Interaktif, Kimia Farma Lakukan Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan, 3 Oktober 2002

Tempo Interaktif, Hasil Audit Kimia Farma akan Selesai Akhir September, 19 September 2002

Tempo Interaktif, Bapepam Larang Peran Ganda Akuntan Publik, 4 November 2002

Sabtu, 06 Juni 2009

AVG Free Edition 8.5.339

Download AVG Free Edition 8.5.339 AVG Free Edition 8.5.339

Download:
Download AVG Free Edition from FileHippo.com

CCleaner 2.20.920

Download CCleaner 2.20.920 CCleaner 2.20.920


Download CCleaner 2.20.920

Download CCleaner from FileHippo.com

Jumat, 05 Juni 2009

Windows Live Messenger 2009 (14.0.8064)

Download Windows Live Messenger 2009 (14.0.8064) Windows Live Messenger 2009 (14.0.8064):

Download MSN Messenger from FileHippo.com

kumpul blogger

Subcribe & Bookmark

Bookmark and Share

Bookmark and Share
Subscribe My Feed